Banyuwangi, Geliat dari Ujung Timur Jawa
BANYUWANGI menggeliat ketika kabupaten di paling ujung
timur Jawa itu getol menghidupkan wisata. Banyuwangi, yang dahulu hanya
kota pelintasan, kini berkembang menjadi tujuan baru wisata dan menjadi
contoh kota kreatif yang bertumbuh.
Sudarlina tersenyum sumringah
saat kaus khas Using karyanya laku dibeli. Kaus bertuliskan ”I Love
Banyuwangi” itu diborong wisatawan yang mampir di gerai pamerannya.
Selama
enam hari pameran di Gesibu, Kecamatan Blambangan, Banyuwangi, Lina
bisa mendapat Rp 3,9 juta, tergolong lumayan bagi Lina yang baru setahun
terakhir memulai usaha kaus.
Setahun lalu, Lina dan rekannya
memberanikan diri mendesain dan mencetak kaus khas Banyuwangi. Kausnya
menjual desain kata-kata, seperti ”I Love Banyuwangi”, ”Isun Lare Using”
(aku anak Banyuwangi), dan sebagainya. ”Pembelinya tidak hanya anak
muda Banyuwangi, tetapi juga turis,” kata Lina.
Keberuntungan
serupa dirasakan Febi (28), perajin cendera mata lulusan Institut Teknik
Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Dia mendesain kaus bercorak khas Using
untuk anak muda, membuat pin, gantungan kunci, dan stiker bertema
Banyuwangi. Jadilah ia mendirikan usaha kecil bernama Nagut Banyuwangi.
Dua
tahun terakhir industri kreatif Banyuwangi yang berhubungan dengan
wisata, berkembang pesat. Jika tiga tahun lalu belum ada kaus khas
Banyuwangi, kini ada 20 produsen kaus untuk oleh-oleh. Distro
bermunculan, industri makanan laris manis. Cendera mata mulai dari
gantungan kunci hingga patung gandrung tak lagi mengandalkan pasar Bali.
Perajin kebanjiran order di daerah sendiri.
Setiap tahun berbagai kegiatan kolosal, seperti Gandrung Sewu, Festival Kuwung, hingga pergelaran jazz di Gunung Ijen dan Pantai Boom. Selain membidik kesenian, acara olahraga internasional, seperti Tour de Ijen dan Kompetisi Surfing Internasional di Pulau Merah, diadakan untuk menggaet wisatawan minat khusus.
Kesadaran akan potensi
Banyuwangi mengalami perubahan pesat dalam dua tahun terakhir. Dari kota yang sayup-sayup terdengar, kini orang mulai membicarakan Banyuwangi sebagai kota tujuan wisata.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menyadari kota ini memiliki budaya unik.
Salah satunya adalah budaya Osing atau Using yang berbeda dari budaya Jawa. Orang Using diyakini merupakan keturunan pelarian dari Kerajaan Hindu Majapahit saat mulai runtuh dengan kedatangan Islam. Kemudian budaya Using bertemu dengan berbagai kebudayaan dari luar, termasuk budaya kolonial Belanda, Tiongkok, suku lain di Nusantara, dan tentu saja Islam.
Perpaduan itu menghasilkan bentuk-bentuk kesenian khas, seperti tari gandrung, musik, hingga arsitektur yang mencerminkan pengaruh Hindu. Masyarakatnya pun relatif terbuka pada keberagaman.
Dengan kekayaan budaya tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi serius berinvestasi pada pariwisata untuk menimbulkan efek beruntun, seperti membangkitkan industri jasa, industri kreatif, dan membuka lapangan kerja.
Mulai tahun 2011, Pemkab Banyuwangi menggelar berbagai acara tingkat internasional, perbaikan jalan, penataan taman, hingga promosi wisata.
Azwar Anas juga menggandeng PT Telkom untuk membuka akses internet yang andal. Bukan hanya mempermudah produk kreatif Banyuwangi mencapai pasar internasional, informasi lengkap tentang Banyuwangi juga tersedia melalui aplikasi digital berbasis android.
Kerja keras itu berbuah. Jumlah wisatawan meningkat. Peluang baru pun ditangkap warga di sekitar lokasi wisata dengan membuka rumah inap.
Rajimin, warga Pantai Pulau Merah, misalnya. Dia merapikan rumahnya di tepi Pantai Merah dan disewakan Rp 750.000 semalam. Pertengahan Juni lalu, habis dipesan peselancar.
Pantai Pulau Merah memang idola baru wisata Banyuwangi sejak kompetisi selancar digelar tahun 2013. Sekarang di sana ada 10 rumah inap, lima kafe, tempat persewaan papan selancar, hingga tenda dan kursi pantai.
Genjot ekonomi
Jumlah wisatawan asing pada 2013 naik sekitar 90 persen atau mencapai 10.462 orang dari tahun sebelumnya yang 5.502 orang. Begitu pun wisatawan lokal, dari 860.831 orang menjadi 1.057.952 pengunjung.
”Turis asing menghabiskan sekitar Rp 3 juta per orang dengan lama kunjungan 2,5 hari. Artinya, ada dana Rp 31,4 miliar yang mengalir ke Banyuwangi selama tahun 2013. Jumlah itu belum termasuk turis lokal,” kata Anas.
Hal tersebut menaikkan pendapatan per kapita warga dari Rp 15,4 juta menjadi Rp 21,84 juta per tahun dalam tiga tahun.
Tantangannya kini, keberlanjutan perubahan tersebut. Akankah menjadi gerakan bersama dengan pemeran utama bukan lagi pemerintah daerah melainkan masyarakat?
Untuk menjadikan warga pemeran utama, Anas mulai membuka kesempatan bagi warga, terutama anak muda, untuk berkembang, berupa pelatihan untuk meningkatkan kapasitas; membangun infrastruktur, termasuk jaringan internet; dan kesempatan berkreasi. Dengan memberi kesempatan dan bekal pemuda, daya kreatif Banyuwangi tak akan meredup. (Siwi Yunita Cahyaningrum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar